BINGUNG, PILIH ISBAT ATAU MENGULANG NIKAH ?
Sembalun (KUA)-Secara kronologis, Tidak sedikit masyarakat
telah melangsungkan akad nikah di luar pengetahuan Pejabat pencatat nikah dengan
dalih dapat mengurus buku nikah di belakang hari dengan cara alternatif berupa
isbat Nikah di pengadilan agama. Tentu cara pernikahan demikian bersimbangan
dengan uu perkawinan. Sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan,
bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.”
Secara umum di Indonesia hanya
ada dua lembaga pencatatan nikah, yaitu penghulu KUA Kecamatan yang mencatat
peristiwa perkawinan pasangan Muslim, dan pejabat Kantor Catatan Sipil
Kabupaten/Kota bagi pasangan non-Muslim. Sementara dalam peristiwa perkawinan yang
sering terjadi pasa saat ini sama sekali tidak melibatkan lembaga pencatatan
nikah yang diakui negara.
Secara hukum agama maupun hukum
negara diatur bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Jika perkawinan itu dilakukan
secara Islam maka ada empat rukun yang harus dipenuhi, yakni mempelai laki-laki
dan Perempuan, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab-kabul.
Masalah pokok perkawinan sering
muncul terkait keberadaan wali nikah. Wali nikah menjadi keharusan sebagaimana
hadits Rasulullah SAW: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali” (HR. Ahmad dan
Ibnu Majah). Dalam Islam ditentukan wali nikah adalah ayah, saudara laki,
kakek, dan kerabat laki-laki lain yang terdekat dengan mempelai wanita dari
jalur ke bawah dan ke samping.
Mereka disebut juga sebagai Wali
Nasab. Mereka yang menjadi wali nikah harus beragama Islam. Apabila tidak ada
Wali Nasab yang Muslim maka keberadaan wali diambil alih oleh Wali Hakim.
Disebut wali hakim karena orang itu yang berhak dan berkuasa untuk melakukan
perbuatan hukum bagi orang yang berada di bawah perwaliannya.
Siapa yang disebut wali hakim?
Dasar hukum wali hakim bersumber hadits Rasulullah SAW: “Dari Aisyah r.a
berkata, Rasulallah SAW bersabda: Perempuan mana saja apabila menikah dengan
tidak seizin walinya, maka nikahnya batal. Dan jika (laki-laki yang menyukainya)
menggaulinya, maka wajib baginya membayar mahar untuk kehormatan yang ia
peroleh dari persebadanannya itu. Jika mereka (para wali) bertengkar, maka
sultan adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali.”
Hadits ini kemudian dijadikan
landasan ulama fiqh, seperti Syekh Zainuddin al-Malibari al-Fanani, di dalam
karyanya Fathul-Muin, halaman 1.383. Dia berkata: “Setelah semua urutan wali
tidak ada maka jabatan wali jatuh kepada sultan atau wakilnya. Yang dimaksud
sultan adalah orang yang memiliki kekuasaan seperti imam, qadhi dan
wakil-wakilnya.”
Berdasarkan tinjauan ini konsep
wali hakim di Indonesia telah ditransformasikan ke dalam Peraturan Menteri
Agama Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim (PMA No. 30/2005). Wali hakim
adalah Kepala KUA Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama. Jika pejabat itu
berhalangan atau tidak ada maka digantikan Kepala Seksi yang membidangi Urusan
Agama Islam atas nama Kepala Kemenag Kabupaten/Kota.
Di kalangan masyarakat Indonesia
transformasi wali hakim sesuai PMA No. 30/2005 itu tidak dipahami dengan baik.
Dalam perkawinan yang dilakukan di bawah tangan (nikah sirri) sering terjadi
tokoh agama diperankan menjadi wali hakim.
Oleh sebab itu, jalan keluar dari
masalah nikah sirri dengan wali hakim dari unsur tokoh agama non-pemerintah
adalah melakukan akad nikah ulang, bukan itsbat nikah! Hal ini sesuai dengan
mengacu UU Perkawinan dan PMA No. 30/2005. Pernikahan yang sudah terjadi
dianggap batal secara hukum agama dan hukum negara. Wallahu a’lam
Posting Komentar untuk "BINGUNG, PILIH ISBAT ATAU MENGULANG NIKAH ?"