BERSENTUHAN SUAMI ISTRI APAKAH BATAL WUDHU?
Pendapat yang populer di kalangan umat Islam Indonesia adalah pendapat yang menganggap bahwa menyentuh istri membatalkan wudhu jika tanpa penutup atau Lapis (bi duni ha`il), kecuali rambut, gigi, dan kuku.
Pendapat lain menyatakan bahwa menyentuh perempuan
baik istri, perempuan ajnabiyyah, atau mahramnya tidak membatalkan wudhu secara
mutlak, baik diiringi syahwat maupun tidak. Ini adalah pandangan yang dianut
para ulama dari madzhab Hanafi. Sedangkan menurut Imam Malik, sepanjang
menyentuhnya tidak diiringi syahwat maka wudhu tidak batal.
Berikut
pendapat imam syafi’ii tentang bersentuhan suami istri membatalkan wudu secara
mutlak.
1. Syafi’i : Batal Secara Mutlak
Para ulama fiqih dari
madzhab Syafi’i memandang bahwa bersentuhan kulit secara langsung antara
laki-laki dan wanita yang bukan
mahramnya dapat membatalkan wudhu’ jika sentuhan itu tidak dihalangi oleh
apapun seperti kain, kertas, atau lainnya.
a.
Parameter
Parameter utama dalam
madzhab Syafi’i adalah “mujarrad iltiqa’ al-basyaratain” atau sentuhan
langsung kulit dengan kulit. Artinya, sentuhan kulit secara langsung antara
laki-laki dan wanita dapat membatalkan wudhu’ walau tanpa syahwat, sengaja atau
tidak sengaja.
Wanita yang menjadikan
laki-laki batal wudhu’ saat menyentuhnya adalah ‘musytahah’, yakni wanita yang
lazimnya memiliki peluang untuk membuat laki-laki tertarik kepadanya.
Ciri-cirinya antara lain : wanita yang sudah baligh dan bukan mahramnya
sendiri.
b. Istri
Bukan Mahram
Isteri bukanlah mahram
bagi suaminya[1].
Maka dalam madzhab ini sentuhan kulit antara suami-isteri membatalkan wudhu.
Ungkapan bahwa isteri
kita bukan mahram kita mungkin perlu diperjelas maksud dan pengertiannya.
Mengingat istilah mahram yang digunakan dalam hubungan suami isteri berbeda
hukumnya dengan istilah mahram sebagaimana umumnya.
Misalnya, seorang
laki-laki dengan wanita yang bukan mahramnya dilarang untuk berduaan (khalwat),
sedangkan seorang suami justru boleh berduaan, bahkan bersentuhan hingga
melakukan hubungan suami isteri. Dari sisi ini saja sudah jelas bahwa hukum
mahram antar keduanya berbeda.
Mahram itu pada
dasarnya bermakna wanita yang haram untuk dinikahi untuk selamanya. Misalnya
ibu, nenek, saudara kandung, bibi, keponakan dan seterusnya. Sebagai wanita
yang haram dinikahi, maka ada ada kebolehan untuk terlihat sebagian aurat, juga
ada kebolehan untuk berduaan, sentuhan kulit dan seterusnya.
Sedangkan istilah
'bukan mahram' bermakna wanita yang boleh dinikahi. Namun selama belum
dinikahi, ada larangan-larangan, yaitu tidak boleh berduaan, bersentuhan kulit
dan lainnya. Kalau sudah dinikahi, maka semua larangan itu menjadi tidak
berlaku. Dan biasanya, istilah bukan mahram sudah tidak berlaku lagi.
c.
Sengaja Atau Tidak Sengaja Tetap Batal
Sengaja atau tidak
sengaja. Dengan atau tanpa syahwat. Menjadi pihak yang menyentuh, ataupun yang
disentuh.[2]
Dalam kitab Raudhah
at-Thalibin Bab Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu’, Imam Nawawi menjelaskan
sebagai berikut:
الناقض الثالث:
لمس بشرة امرأة مشتهاة، فإن لمس شعرا، أو سنا، أو ظفرا، أو بشرة صغيرة لم تبلغ حد
الشهوة، لم ينتقض وضوءه، على الأصح. وإن لمس محرما بنسب، أو رضاع، أو مصاهرة، لم
ينتقض على الأظهر.وإن لمس ميتة، أو عجوزا لا تشتهى، أو عضوا أشل، أو زائدا، أو لمس
بغير شهوة، أو عن غير قصد، انتقض على الصحيح في جميع ذلك، وينتقض وضوء الملموس على
الأظهر.
Pembatal (wudhu’) yang ketiga adalah
menyentuh wanita musytahah. Jika ia menyentuh rambut, gigi, atau kuku wanita,
atau menyentuh anak kecil yang tidak mengundang syahwat maka wudhunya tidak
batal menurut pendapat yang shahih dalam madzhab ini (Syafi’i). Begitu juga
menyentuh mahram, baik mahram karena nasab, sepersusuan atau mushaharah, maka
wudhu’nya tidak batal. Adapun jika ia menyentuh wanita yang sudah meninggal
atau wanita tua yang sudah tidak mengundang syahwat, atau anggota tubuh wanita
yang cacat atau yang organ tambahan, atau ia sentuhan tanpa syahwat dan tidak
disengaja maka wudhunya batal menurut pendapat yang shahih dalam madzhab,
begitu juga batalnya wudhu orang yang disentuh[3].
d.
Ketentuan Singkat
Kalau disimpulkan secara singkat, kita bisa
buatkan point-point utama ketentuanny dalam mazhab Asy-Syafi’i sebagai berikut
:
·
Kedua pihak yaitu laki-laki dan wanita, dimana masing-masing
bisa menjadi objek yang apabila tersentuh, menimbulkan syahwat, meski secara
umur belum dibilang baligh.
·
Sentuhan terjadi tanpa memperhatikan pengaruhnya
pada masing-masing, apakah ada ladzdzah (kenikmatan), syahwat atau tidak ada
pengaruhnya. Asalkan sentuhan terjadi, sengaja atau tidak sengaja, maka wudhu'
dianggap batal.
·
Yang tersentuh adalah kulit dengan kulit secara
langsung tanpa alas atau pelapis. Sedangkan bila yang tersentuh itu terlapisi
dengan kain, maka dianggap tidak membatalkan wudhu'.
·
Bagian tubuh yang apabila tersentuh membatalkan
wudhu adalah kulit, yang maksudnya adalah yang ada dagingnya. Maka bila yang
tersentuh kuku, gigi atau rambut, justru tidak dianggap membatalkan. Alasannya
karena kuku, gigi dan rambut bukan bagian dari daging manusia.
·
Tidak dibedakan antara pihak yang menyentuh dan
yang disentuh, apabila sentuhan terjadi maka keduanya sama-sama mengalami
batalnya wudhu'.
·
Sentuhan kulit antara sejenis tidak membatalkan,
meski pun menimbulkan syahwat bagi orang yang tidak normal. Maka pasangan
lesbian atau homoseks bila bersentuhan kulit, tidak batal wudhu'nya. Lepas dari
haramnya tindakan lesbian dan homoseksual.
[1] Mahram artinya lawan jenis yang haram dinikahi. Istri bukanlah
mahram bagi suaminya, sebab mereka tidak haram untuk saling menikahi.
[2] Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab jilid 2, hal.26
[3] Imam Nawawi, Raudhatut Thalibin, jilid 1, hal. 74
Posting Komentar untuk "BERSENTUHAN SUAMI ISTRI APAKAH BATAL WUDHU?"