Part I || Hukum dan Pensyariatan Mahar Nikah
Pengertian Mahar
Secara
bahasa, kata mahar berasal dari bahasa Arab al-mahru (المهر), yang bermakna pemberian untuk seorang
wanita karena suatu akad. Hanya saja dalam fiqih, istilah mahar memiliki makna
dengan fungsi yang lebih luas dari sekedar pemberian yang disebabkan adanya
akad nikah. Di mana, setiap pemberian yang menjadi
sebab atau akibat terjadinya hubungan seksual disebut dengan mahar. Apakah
hubungan seksual itu berdasarkan akad nikah yang halal, ataupun karena sebab
zina.
Imam al-Khathib asy-Syirbini dalam Mughni
al-Muhtaj, mendefinisikan mahar dengan makna tersebut sebagaimana berikut:
مَا وَجَبَ بِنِكَاحٍ أَوْ وَطْءٍ أَوْ تَفْوِيتِ
بُضْعٍ قَهْرًا.
Harta yang wajib diserahkan karena sebab
nikah, hubungan seksual, atau hilangnya keperawanan.
Adapun dasar penamaan mahar untuk setiap
pemberian yang dilakukan atas setiap sebab akibat dari hubungan seksual yang
halal maupun yang haram adalah hadits-hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا -، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ
وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ،
فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا المَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ
فَرْجِهَا، فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ»
(رواه الترمذي)
Dari Aisyah -
radhiyallahu ‘anha -, bahwa Rasulullah - shallallahu 'alaihi wasallam -
bersabda: “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya
adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. Jika dia telah digauli maka dia berhak mendapatkan mahar,
karena suami telah menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di
antara mereka, maka penguasalah yang menjadi wali atas orang yang tidak punya
wali.” (HR. Tirmizi)
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الأَنْصَارِيِّ - رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ -: «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى
عَنْ ثَمَنِ الكَلْبِ، وَمَهْرِ البَغِيِّ، وَحُلْوَانِ الكَاهِنِ»
(متفق عليه)
Dari Abu Mas’ud
al-Anshari - radhiyallahu ‘anhu -: bahwa Rasulullah - shallallahu 'alaihi
wasallam - melarang hasil jual beli anjing, mahar zina dan upah
perdukunan. (HR. Bukhari Muslim)
Di samping itu, imam
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menyebutkan 9 istilah dalam bahasa Arab yang
memiliki makna sebagai pemberian karena akad nikah ini, yaitu: (1) mahar, (2)
shodaq, (3) shadaqoh, (4) nihlah, (5) faridhah, (6) ajr, (7) ‘ala’iq, (8) ‘uqr,
dan (9) hiba’
Sedangkan dalam bahasa Indonesia, istilah mahar ini juga disebut dengan mas kawin. Dalam KBBI disebutkan bahwa definisi dari maskawin adalah pemberian pihak pengantin laki-laki (misalnya emas, barang kitab suci) kepada pengantin perempuan pada waktu akad nikah; dapat diberikan secara kontan ataupun secara utang.
Hukum dan Pensyariatan Mahar Nikah
Para ulama sepakat bahwa pemberian mahar oleh suami dalam akad
pernikahan merupakan suatu hal yang diwajibkan. Di mana pemberian mahar ini
merupakan salah satu hak di antara hak-hak istri atas suami. Hal ini
sebagaimana didasarkan kepada ayat al-Qur’an berikut ini:
وَآتُواْ
النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا (النساء: 4)
Berikanlah mahar/maskawin kepada wanita
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya. (QS.
An-Nisa: 4)
Dalam ayat di atas, secara tegas Allah
mengatakan bahwa mahar itu merupakan hak milik sang istri, bukan milik suami
atau walinya. Hal ini karena sebelum ayat ini diturunkan, apabila ada seorang
ayah menikahkan anak perempuannya, atau kakak laki-laki menikahkan adik
perempuannya, maka mahar dari pernikahan tersebut diambil dan dimiliki oleh
sang ayah atau kakak laki-laki tersebut, bukan oleh si perempuan yang dinikahi.
Lalu Allah melarang hal tersebut dan menurunkan ayat di atas.
Posting Komentar untuk "Part I || Hukum dan Pensyariatan Mahar Nikah"