Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Selamat Datang di Blog KUA Kec Sembalun, Nikah di KUA GRATIS, di luar KUA membayar Rp 600.000,-, disetorkan langsung ke Bank Menggunakan Kode Billing PNBP NR, Zona Integritas KUA, tolak Gratifikasi, Korupsi dan Pungli, Laporkan jika terbukti !

PART II || HUKUM DAN PENSYARI'ATAN MAHAR NIKAH

 


Pragmatisme adalah suatu aliran pemikiran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Patokan pragmatisme adalah manfaat bagi kehidupan praktis.  Dapat dikaitkan dengan hukum Islam untuk mengukur pemaknaan dalam penetapan adanya tugas mempersiapkan dan menyerahkan mahar dalam suatu perkawinan. Kemudian perkawinan (dalam tulisan ini disamakan dan sering dipertukarkan pemakaiannya dengan pernikahan) dalam Islam merupakan kegiatan relasi kemanusiaan yang memiliki nilai yang sakral.

Ia memiliki rukun dan syarat. Tetapi ada satu hal mesti ada dalam prosesi akad perkawinan yang posisinya menjadi perdebatan antara rukun, syarat, atau wajib, yakni mahar. Sedangkan mahar adalah pemberian calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita sebagai lambang kesungguhan calon suami terhadap calon isterinya, mencerminkan rasa kasih sayang, sekaligus membuktikan kesanggupan berkorban demi kesejahteraan rumah tangga mereka. Karena mahar memegang peranan ya ng signifikan dalam suatu perkawinan, maka ia harus dipersiapkan sebelum perkawinan berlangsung.

1. Mahar: Tidak Wajib Disebutkan Saat Akad

Di samping itu para ulama juga sepakat bahwa pemberian mahar bukanlah bagian dari ritual akad nikah yang menjadi rukun sahnya nikah. Dalam arti, jika akad nikah dilakukan tanpa adanya penyebutan mahar, maka nikah tersebut tetap terhitung sah.

Hal ini didasarkan kepada ayat berikut:

لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إنْ طَلَّقْتُمْ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً (البقرة: 236)

Tidak ada kewajiban membayar  atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. (QS. Al-Baqarah : 236)

Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyyah al-Kuwaitiyyah dijelaskan kesepakatan ini:

يَجُوزُ إِخْلاَءُ النِّكَاحِ عَنْ تَسْمِيَتِهِ بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ.

Boleh pernikahan dilakukan tanpa adanya penyebutan mahar menurut kesepakatan ulama.

Para ulama menjelaskan bahwa pertimbangan kenapa mahar tidak termasuk rukun nikah adalah karena tujuan asasi dari sebuah pernikahan bukanlah jual-beli. Tujuan pernikahan itu adalah melakukan ikatan pernikahan dan juga kehalalan istimta' (hubungan seksual). Sehingga mahar hanya salah satu kewajiban suami, sebagaimana nafkah, yang tidak perlu disebutkan pada saat akad.

Imam an-Nawawi - rahimahullah – (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, Raudhah ath-Thalibin wa ’Umdah al-Muftin:

قَالَ الأَصْحَابُ: لَيْسَ الْمَهْرُ رُكْنًا فِي النِّكَاحِ بِخِلافِ الْمَبِيعِ وَالثَّمَنِ فِي الْبَيْعِ.

Al-Ashhab (ulama Syafi’iyyah) berkata: Mahar itu bukan rukun dalam nikah, berbeda dengan barang yang diperjual-belikan dan uang dalam jual-beli.

2. Sahkah Pernikahan Yang Tidak Ada Maharnya?

Hanya saja, para ulama kemudian berbeda pendapat, terkait sahnya pernikahan jika mahar ditiadakan dalam sebuah pernikahan. Dalam arti, apakah pernikahan yang tidak ada pemberian mahar oleh suami terhitung pernikahan yang sah atau tidak?

Dalam masalah ini, maka perlu dirinci terlebih dahulu, terkait alasan tidak ditunaikannya kewajiban mahar dalam pernikahan. Yang setidaknya dalam dua masalah. Pertama: ketiadaan mahar sebagai syarat pernikahan. Kedua: Kerelaan istri untuk tidak menerima mahar.

a. Ketiadaan Mahar Sebagai Syarat Pernikahan

Masalah pertama adalah bahwa ketiadaan mahar ini merupakan syarat yang diajukan oleh pihak suami untuk diteruskannya pernikahan. Dalam kasus ini, para ulama berbeda pendapat apakah akad nikah tetap dinilai sah atau tidak?

Mazhab Pertama: Nikah tetap sah.

Mayoritas ulama (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) berpendapat bahwa pernikahan tanpa mahar yang disyaratkan tetaplah sah. Sebab mahar bukanlah rukun nikah. Namun, suami yang tidak memberikan maharnya tetap terhitung berdosa karena mahar merupakan hak istri yang wajib ditunaikan oleh suami.

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) berkata dalam kitabnya, al-Muqni’:

أن يشترط أنه لا مهر لها ولا نفقة ... فالشرط باطل ويصح النكاح.

Suami mensyaratkan tidak adanya mahar dan nafkah … maka syaratnya batil dan akad nikahnya tetap sah.

Mazhab Kedua: Nikah batal.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa mahar termasuk rukun nikah, meskipun tidak mesti disebutkan di dalam akad. Dan atas dasar ini, pernikahan yang disyaratkan ketiadaan mahar terhitung tidak sah.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa mahar termasuk rukun nikah, meskipun tidak mesti disebutkan di dalam akad. Dan atas dasar ini, pernikahan yang disyaratkan ketiadaan mahar terhitung tidak sah.

Imam ad-Dardir al-Maliki berkata dalam kitabnya, asy-Syarh ash-Shaghir:

وَالِاتِّفَاقُ عَلَى إسْقَاطِهِ مُفْسِدٌ الْعَقْدَ.

Kesepakatan untuk tidak adanya mahar dapat merusak akad nikah.

b. Kerelaan Istri Untuk Tidak Menerima Mahar

Untuk masalah kedua, ketiadaan mahar bukanlah syarat yang diajukan pihak suami, namun kerelaan dari pihak istri untuk tidak menerima mahar. Di mana pernikahan tanpa mahar yang dilandasi kerelaan istri ini disebut dengan istilah nikah tafwidh (نكاح التفويض).

Dalam kasus ini, pada dasarnya para ulama sepakat bahwa pernikahannya tetaplah sah. Namun sang suami tetap wajib menawarkan sejumlah mahar, yang kemudian istri bisa merelakannya untuk sang suami. Hal ini didasarkan kepada ayat al-Qur’an berikut ini:

... وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (النساء: 24)

… dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’: 24)

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (النساء: 4)

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa’: 4)

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi - rahimahullah - berkata dalam kitabnya, al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi:

إِذَا عَفَتْ الْمَرْأَةُ عَنْ صَدَاقِهَا الَّذِي لَهَا عَلَى زَوْجِهَا أَوْ عَنْ بَعْضِهِ أَوْ وَهَبَتْهُ لَهُ بَعْدَ قَبْضِهِ، وَهِيَ جَائِزَةُ الْأَمْرِ فِي مَالِهَا جَازَ ذَلِكَ وَصَحَّ. وَلَا نَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا.

Jika sang istri merelakan maharnya untuk sang suami, atau sebagiannya, atau menghibahkan kepadanya setalah ia miliki, maka hal itu boleh saja sebagaimana ia memberikan hartanya. Di mana pernikahannya tetaplah sah. Dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.


 

 

Posting Komentar untuk "PART II || HUKUM DAN PENSYARI'ATAN MAHAR NIKAH"